Kisah janda Tua, Hidup dengan mengandalkan TUngkuh


Janda Miskin, Dan Tungkuh Buatan Anaknya

Peakture: Dekri Adriadi
                Diera globalisasi dan moderen saat ini ternyata masih banyak juga ditemukan kisah kehidupan seorang janda tua, yang dalam kehidupan seharinya hanya dapat mengandalkan Tungkuh buatannya sebagai mata pencaharian dalam menantang kerasnya kehidupan saat ini walaupun negara ini merdeka dikataknya.
Seorang Nenek tua yang bernama Hawang(73) ini lahir di bone Sulawesi Selatan 27 Desember 1940 dan kini Hijra di Selawesi Tenggara 40 tahun silam, Tepatnya Di desa lapangisi kecamatan mowewe kabupaten kolaka timur, nenek yang di tinggalkan seorang suami 10 tahun silam, memiliki anak kandung empat orang ini, hanya bisa memeras keringat setiap harinya, dalam membantuh anak perempuannya yang bernama Jumahira(36), untuk membuat tungkuh agar dapat di jual ke orang yang membutuhkan , supaya dapat membeli beras lagi.
‘’kadangkala saya memasak nasi saja untuk Jum yang, sedang buat dapo (Tungkuh) untuk dijual sama orang yang mau beli supaya bisa ada beras dan ikan untuk makan hari-hari’’ ungkap Nenek hawang
Nenek ini mengakui dirinya, kini hanya bisa berdoa agar suatu saat nanti ada pahlawan berhati mulia, menawarkan pekerjaan pada dia dan anaknya, meskipun menurutnya hanya sebatas pembantuh rumah tangga
‘’kini saya hanya bisa berdoa moga-moga nanti ada pendekar, yang kasih saya pekerjaan dengan Jum , biar pembantuh rumah tangga yang penting bisa beli beras dengan lain-lain’’ tambahnya
Jumahira adalah anak satu-satu nenek Hawang yang perempuan, kini hanya bisa menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah ,  agar dapat menghidupi dia dan ibu kandungnya, dengan cara membuat tungkuh, kadang juga menurut Jum apabila tidak terjual tungkuh buatannya, terpaksa dia harus mencari lahan tidur milik orang untuk menanami sayur-sayuran  agar dapat membeli beras sebagai makanan pokok, kadang juga menjadi kuli pemotong padi saat panen itu tibah
‘’kalo tidak ada yang mau beli Dapoku (Tungkuh) biasa saya minta kebun orng yang tidak dapake untuk saya tanam sayur, tapi biasa juga kalo musim panen datang biasa saya pergi masangking (menyabit padi) kalo tidak cepat-cepatki apa kita mau makan’’ ungkap Jumahira yang biasa juga disapa oleh nenek Hawang Jum.
Nenek hawang mengatakan sesungguhnya Jumahira  hanya dapat menamatkan sekolahnya sebatas bangkuh kelas 2 SD saja, karena ekonomi , sehingga terpaksa Jum harus berhenti sekolah
‘’Jum hanya sekolah kelas 2 SD sudah itu dia keluarmi, karna mau lanjut kelas 3 tidak adami uang mau beli sepatu, baju dan lain-lain’’ ungkap nenek Hawang
Kini nenek hawang , bersama anaknya jumahira berteduh di gubukan kecil berdindingkan terpal berukuran 9x5 meter, di Desa lapangisi kecamatan Mowewe kabupaten Kolaka Timur, saat malampun tiba nenek dan satu orang putrinya ini hanya bisa menikmati lampu pelita dan satu buah lampu penerang dari tetangga rumahnya, sementara itu Tiga anak laki-lakinya, yang satunya hijra ke kabupaten bombana bersama istrinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga, sementara Johan(38)dan Suleman(39) tinggal di samping rumah ibunya karena telah memiliki keluarga masing-masing, johan dan suleman dalam kesehariannya mencari sesuap nasi kini bekerja selaku kuli pengangkut pasir untuk di jual pada orang yang membutuhkannya, johan juga sering kali mengelolah kebun milik orang yang saat musim panen tibah, membagi hasil dengan pemilik kebun,
Saat ini johan tinggal bersama sang istri Dalli, yang selaku ibu rumah tangga, Johan tinggal di rumah pribadinya,yang berdindingkan papan dan beratapkan seng berukuran tidak jauh bedah dengan rumah yang di tingali ibunya yaitu nenek Hawang,  dan menurut johan rumah yang saat ini menjadi tempat berteduhnya yaitu bantuan pemerintah melalui program Aladin, penghasilan Johan saat ini saelaku kuli pengangkut pasir kadang kala mencapai hingga rp. 150 000 perbulannya , itupun menurut johan apabila ada orang yang berkenan membeli pasir tumpukannya di sungai Horodopi,
‘’saya bekerja di kebunya orang, kalo sudah panen biasa bagi hasil, tapi kalo saya sudah pergi kebun, saya pergi lagi di kali (sungai kecil) ambil pasir untuk jual, sama orang yang mau pake (menggunakan), untung ada bantuan pemerintah Aladin, kalo tidak adapi tidak tau dimanami saya mau tinggal,’’ ujar johan anak nenek hawang
Johan yang sama sekali tidak pernah menduduki bangkuh sekolah ini hanya dapat melakukan pekerjaan kasar-kasar saja,
Nenek hawang mengakui, semua anaknya hanya jumahira saja yang pernah menduduki bangkuh sekolah, walaupun sebatas kelas 2 sekolah dasar, namun si janda tua ini tetap tegar dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
‘’empat anak saya, hany Jum yang pernah sekolah, itupun Cuma kelas 2 SD saja’’Nenek hawang juga mengatakan pada media ini saat di kunjungi sabtu (31/8) seringkali tidur tampa menyentuh makanan apabila tungkuh buatannya tidak laku terjual, bahkan hanya teteguk air putih saja yang dapat mengisi kekosongan perut dia serta anak-anaknya, meskipun demikian bagi nenek Hawang, hal tersebut bukan hal yang luar biasa tetapi hal yang biasa saja di jalaninya, karena terlalu keseringan mengisi kekosongan perutnya dengan tegukan air putih, dan tampa mengkonsumsi makanan pokok seperti biasa, sehingga tubuh nenek dan anak-anaknya hanya beribaratkan tulang yang berlapis kulit tipis,
‘’kadang-kadang saya tidur tidak makan, untung saja ada air putih yang bisa di minum, pernag juga saya tidur hanya makan sayur saja, tampa satu biji nasi’’
Jumahira anak nenek hawang juga mengatakan, rumah yang ditempatinya saat ini, yang berdindingkan terpal, kadang kala di tepis air hujan, hingga membuat kamar yang biasa di gunakan untuk lelap menjadi basa kuyup
‘’dirumah ini masuk terus air kalo hujan, sampai-sampai basa kuyup kamar tidur kami’’ Nenek Hawang, dan anak perempuannya Jumahira ini, hanya bisa menunggu bantuan pemerintah, Janda berprofesi tukang pembuat tungkuh juga berharap agar pemerintah dapat memberikan pekerjaan yang layak untuk anaknya, agar setiap harinya dapat menghidupi diri dan anak-anaknya(**)      


Komentar